Adat istiadat Parang Sumba NTT
Begitu banyak kerajinan khas dari berbagai daerah di Indonesia, salah satunya tenun. Apalagi, tenun dari beberapa wilayah di Indonesia telah memiliki nilai sendiri, baik dari segi corak maupun kualitas.
Bagi sebagian masyarakat di Nusa Tenggara, tenun melambangkan kebudayaan yang sangat tinggi.
“Tenun ini salah satu warisan budaya nenek moyang yang memang tidak boleh kami lupakan. Bagi kami orang Sumba, baik lelaki maupun perempuan, di pesta tertentu kalau dia pakai kain pabrik itu berarti orangnya tidak tahu budaya,” papar Marlina Rambu Meha, warga asal Sumba Timur, saat ditemui di bilangan Blok M, Jakarta, belum lama ini.Bagi masyarakat Sumba pun, Marlina mengakui, corak yang tergambar dalam tenun haruslah memiliki “cerita” di baliknya. Seperti gambar ayam.
Menurutnya, ayam itu sebagai lambang pengingat waktu. “Zaman dulu enggak ada ayam belum ada yang tahu jam. Tapi dengan ayam bisa tahu kapan pagi, kapan siang, kapan malam,” katanya.
Ada pula kuda, yang melambangkan alat angkut transportasi. “Karena dulu belum ada oto (mobil), kami pergi beli di pasar harus pakai kuda,” ujar Marlina.
Tombak, yakni melambangkan senjata. Pada masa lampau tombak dan bambu runcing digunakan untuk mengusir penjajah.
Ada juga motif sayuran yaitu pare, yang merupakan makanan saat zaman penjajahan.
“Ada motif pare. Pare itu punya nilai sejarah, ketika di zaman penjajahan dulu, ketika diserang harus sembunyi ke hutan. Tak tahu harus sembunyi ke mana, tetapi pare itu selalu tumbuh di hutan, daunnya bisa diambil, dimakan, buahnya bisa diambil dan dimakan,” katanya.
Selain corak, warna tenun pun berbeda untuk setiap upacara adat. Untuk pesta pernikahan lebih cenderung menggunakan warna terang atau merah, sedangkan kematian cenderung memakai hitam atau biru. Sementara untuk upacara adat biasa, bisa memakai warna tenun apa saja.
Harga tenun memang tak murah, pembuatannya pun tak mudah karena dibuat langsung dengan tangan. Marlina mengakui, untuk proses pembuatan sehelai tenun bisa menghabiskan waktu hingga 6 bulan.
Untuk harga tenun tergantung berdasarkan corak. Yang paling mahal ialah yang bercorak menceritakan kehidupan manusia. Menceritakan seorang ibu yang sedang hamil, melahirkan, masa anak-anak, dewasa, tua, hingga akhirnya meninggal. Corak seperti itu harganya bisa mencapai lebih dari Rp 300 juta.
Marlina membuat tenun bersama para perempuan di desanya, yakni Mbatakapidu, Kabupaten Sumba Timur. Mereka mendirikan Kelompok Wanita Tani (KWT) Tapawallabadi untuk memasarkan hasil kerajinannya. Karena tenun buatannya belum dipasarkan hingga keluar daerah Sumba, maka jika tertarik membeli tenun buatannya haruslah datang langsung ke desanya. Sekaligus, bisa melihat langsung pembuatan tenun di sana.
Tim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta pernah punya kisah unik ketika bertugas di Sumba, Nusa Tenggara Timur, beberapa tahun lalu. Kebetulan baru pertama kali berkunjung, mereka sangat ketakutan sehingga minta pengamanan khusus karena hampir setiap lelaki dewasa yang dijumpai selalu dengan parang di pinggang.
Beruntung tim tersebut bersama pejabat dari Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO) Nusa Tenggara Timur (NTT), sehingga keadaan tidak bertambah kacau. Pejabat pendamping menuturkan, bahwa apa yang dilihat oleh tim dari Kemendikbud itu itu bukan pertanda situasi setempat sedang mencekam. Juga, masyarakat tidak bermaksud melakukan tindakan negatif terhadap sesamanya, termasuk tim pengunjung.
”Tim dari kementerian baru lega dan kembali bertugas seperti biasa setelah kami menjelaskan bahwa parang pinggang itu hanya sebagai kebiasaan sekaligus kekhasan sehingga menjadi gengsi sosial lelaki dewasa Sumba,” tutur pejabat dari Dinas PPO NTT dalam sebuah percakapan lepas di Tambolaka, kota Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), pekan terakhir November lalu.
Parang yang selalu di pinggang pria dewasa menjadi pemandangan luas di Sumba yang kini merupakan wilayah empat kabupaten, yakni Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan SBD. Pemandangan seperti itu dijumpai mulai dari pedesaan hingga kota. Membawa parang belum tentu berhubungan dengan kebutuhan kerja.
Di Sumba, fungsi parang bisa diketahui melalui gagangnya. Kalau gagangnya dari kayu, hampir dipastikan sebagai parang kerja. Jika parangnya bergagang tanduk hewan, apalagi dari gading, dipastikan sebagai aksesori atau pelengkap busana adat pria Sumba. Di lingkungan orang Sumba, kelompok parang terakhir itu lazim disebut sebagai parang pinggang.
”Kelengkapan busana adat Sumba sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Jawa. Kalau di Jawa busana adatnya dengan keris yang diselipkan di pinggang bagian belakang. Sementara di Sumba, busana adatnya dengan parang yang diselipkan di pinggang bagian samping,” jelas Hendrik Pali (64), pemilik Sanggar.
Kerajinan parang
Tradisi berparang pinggang hingga kelengkapan busana adat di Sumba telah menjadi peluang usaha bagi sejumlah masyarakat di pulau tersebut. Sebut saja, misalnya, kawasan Kilometer (Km) 8 di Kelurahan Kamba Jawa, Waingapu, telah tumbuh sebagai salah satu sentra kerajinan besi, terutama parang di Sumba Timur.
Robert Hora (35), pemilik bengkel pandai besi Friend di Kamba Jawa, mengakui usaha kerajinan besi di kawasan itu tumbuh sejak 1980-an setelah pindah dari lokasi lama di Mauliru.
”Di kawasan ini sekarang ada setidaknya delapan bengkel pandai besi. Semuanya dengan produk utama parang selain sabit, sorok, pisau, linggis, pacul, kapak, dan lainnya,” tutur Robert di bengkelnya di Kamba Jawa.
Bengkel milik Robert melibatkan sedikitnya tujuh perajin. Sistem kerjanya bergotong royong dan bergilir, mengikuti ketersediaan bahan baku besi. Polanya, setiap perajin berusaha sendiri menyediakan bahan baku besi. Jika jumlahnya cukup, langsung dikabarkan kepada seluruh perajin dalam tim untuk kegiatan penempaan secara bersama-sama pada hari yang ditentukan, begitu seterusnya.
”Hari ini kebetulan giliran saya, nanti kesempatan berikutnya giliran bagi perajin lain yang sudah menyediakan bahan baku besi. Tidak ada perajin yang digaji. Hasil tempaan yang dilakukan bersama, sepenuhnya menjadi hak pemilik besi,” sambung perajin Yusuf Sarambila, rekan Robert.
Mereka biasanya menggunakan dua jenis besi bekas, yakni jenis logam lunak, seperti besi gerigi atau besi jembatan yang dibeli seharga Rp 6.000 per kilogram (kg). Mereka juga menggunakan besi baja, tetapi harganya lumayan mahal, yakni Rp 15.000 per kg.
Khusus di bengkel tim Robert, setiap kali penempaan bisa menghasilkan 60-70 bilah parang telanjang setengah jadi. Hasil kerajinan itu apabila dari besi lunak biasanya langsung dipasarkan seharga Rp 30.000 per bilah.
Dia mengakui kalau parang pasarannya selalu laris, bahkan tak jarang pembeli datang langsung ke bengkel. Oleh pedagangnya, kelompok parang itu nantinya diperhalus lagi, diberi gagang dan sarung sebelum dijual lagi ke pasar di Sumba.
”Parang yang telah jadi itu meski awalnya dari besi lunak, telah berubah menjadi baja karena telah dibenamkan ke dalam tampungan oli bekas,” tutur Robert.
Berpindah-pindah
Di SBD, sentra usaha pandai besi skala sederhana, terutama parang, dapat dijumpai antara lain di Desa Lete Kamauna, Kecamatan Wewewa Timur. Di kawasan itu, kini tumbuh sekitar 20 bengkel dengan sistem kerja mirip di Kamba Jawa, Sumba Timur, yakni bergotong royong dan bergilir.
Bedanya, beberapa bengkel di Lete Kamauna tempat usahanya sering berpindah-pindah akibat kesulitan kayu bakar untuk pemanasan potongan besi sebelum ditempa menjadi barang yang diinginkan. ”Tempat usaha terpaksa pindah-pindah karena harus mengikuti ketersediaan kayu bakarnya,” jelas Dominggus Ngongo Bili, perajin besi di desa itu, awal pekan kedua, Desember lalu.
Dominggus bersama enam rekan perajinnya, hari itu didapati sedang giat menempa besi di bawah tenda sederhana. Menariknya, lokasinya justru di tengah kebun milik rekannya, Samuel Umbu Lado. ”Kebetulan kayu bakar masih tersedia di lokasi ini. Nanti tempat usaha kami akan pindah lagi ke lokasi lain yang ada kayu bakarnya,” sambung perajin lain, Arnoldus Dapa Raka.
Berbeda dengan usaha serupa di Kamba Jawa, para perajin di Lete Kamauna mengakui bahan baku besi yang mereka pakai semuanya dari jenis logam baja yang dibeli seharga Rp 15.000 per kg di sebuah toko di Waikabubak, kota Kabupaten Sumba Barat.
Mereka juga membantah logam lunak bisa berubah menjadi baja hanya terjadi setelah dicelupkan ke dalam oli bekas. ”Itu penipuan. Oli hanya bisa membuat parang tidak karatan; bukan mengubah besi lunak menjadi waja(baja),” tegas Arnoldus.
Parang atau produk lain hasil usaha para perajin tersebut juga dapat dengan mudah dijumpai di pasar. Berkunjung saja, misalnya, ke Pasar Matawai di pusat Kota Waingapu, Sumba Timur. Di sana, sebagaimana antara lain dijajakakan oleh Yohanes Lede Bili (74), parang jadi dipasarkan seharga antara Rp 100.000 dan Rp 400.000 per bilah.
”Kalau parang, setiap hari selalu saja ada yang membelinya. Para pembelinya tidak hanya orang Sumba, tapi juga pengunjung dari daerah lain. Mereka senang membawa pulang parang sebagai buah tangan dari Sumba,” tutur Yohanes yang ternyata berasal dari Elopada, SBD.
Pengakuan serupa dilontarkan Dimu (42), penjaja parang di emperan depan Toko Nusantara di tepi Jalan A Yani, Kota Waikabubak. ”Kalau berjualan parang pasti selalu ada pembelinya karena orang Sumba kalau bepergian merasa tak lengkap tanpa parang di pinggang,” tuturnya.
Sina Marawali, salah seorang tokoh masyarakat kampung adat Anakalang di Sumba Tengah, melukiskan, parang adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan lelaki dewasa Sumba. ”Lelaki dewasa Sumba kurang percaya diri tanpa parang di pinggang. Parang itu juga punya gengsi sendiri,” paparnya. Nyali lelaki Sumba rupanya mudah ciut tanpa parang pinggan.
Komentar
Posting Komentar